Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk, kebutuhan akan energi listrik di Indonesia meningkat dengan pesat. Karena kesalahan perencanaan di masa lalu, kebutuhan energi listrik meningkat jauh lebih pesat dibanding yang bisa disediakan oleh PT. PLN. Akibatnya, terjadi pemadaman bergilir dimana-mana. Padahal hampir setengah daerah di Indonesia belum mendapatkan kesempatan mendapatkan listrik.
Problem kedua yang dihadapi oleh PT. PLN adalah subsidi yang terus membengkak. Selisih antara harga produksi dan harga jual energi listrik adalah penyebab utama. Harga produksi membengkak karena sebagian besar energi listrik dibangkitkan dengan BBM yang mahal serta tidak efisiennya sistem pembangkit, transmisi, dan distribusi. Rendahnya harga jual juga menyebabkan dorongan untuk melakukan penghematan menjadi sangat rendah di kalangan konsumen. Di sisi lain, banyak konsumen yang tidak layak mendapatkan subsidi atau mampu membayar lebih mahal jika kwalitas listrik yang didapat bisa dijamin.
Problem ketiga yang penting dan unik di Indonesia adalah kondisi geografis negara kita yang terdiri atas banyak pulau dan terletak di dekat katulistiwa. Kondisi banyak pulau merupakan kondisi unik yang tidak bisa dibandingkan dengan negara lain sehingga agak susah melakukan benchmark apakah sistem kita sudah efisien atau belum. Kondisi negara yang terletak di katulistiwa juga membawa konsekuensi tersendiri. Di pulau Jawa dan Sumatra misalnya, semua orang bangun dan tidur pada waktu yang sama, semua melakukan aktivitas pada jam yang sama. Semua merasakan temperatur yang hampir sama. Akibatnya, beban puncak di seluruh bagian pulau Jawa dan Sumatra terjadi pada waktu yang sama. Artinya, keuntungan sistem interkoneksi yang diharapkan bisa mengurangi beban puncak menjadi tidak ada. Kondisi ini berbeda dengan Eropa dan Amerika yang temperaturnya berbeda dari bagian satu ke bagian yang lain dan mempunyai beda waktu yang cukup signifikan. Dengan kata lain, pola perencanaan yang berjalan baik di Amerika dan Eropa tidak bisa kita terapkan di Indonesia.
Kompleksitas permasalahan kelistrikan nasional menyebabkan suatu solusi yang menyeluruh susah untuk didapat. Akan tetapi ini tidak berarti solusinya tidak ada, solusinya ada dan pasti bisa jika memang ada keinginan untuk memecahkannya. Ada beberapa isu penting yang harus diingat dalam memilih solusi:
1. Menghemat 1 MW energi listrik jauh lebih mudah dan murah dibanding membangkitkannya.
2. Setiap daerah diusahakan mandiri dalam pengadaan energi. Jika setiap daerah mandiri maka negaranya juga akan mandiri.
3. Sebagai suatu produk, energi listrik harus dihargai berdasarkan kwantitas dan kwalitas, bukan hanya kwantitas seperti saat ini.
4. Kompetisi mendorong adanya penghematan dan efisiensi.
Penghematan
Masalah khas dari ketenagalistrikan adalah tidak adanya penyimpan energi listrik yang andal dan efisien. Akibatnya, energi listrik harus dibangkitkan pada saat diperlukan. Semua pembangkit, saluran transmisi, dan saluran distribusi harus dibangun dengan kapasitas sama dengan beban maksimum sistem ditambah dengan suatu margin aman tertentu. Padahal, beban maksimum mungkin hanya terjadi selama beberapa jam setiap harinya. Akibatnya, lebih dari setengah pembangkit dan saluran transmisi yang dibangun dengan biaya sangat mahal harus menganggur setiap harinya.
Jika kita mempunyai bahan bakar 100 unit, bahan bakar ini harus diolah di pembangkit menjadi energi listrik. Dalam konversi dari bahan bakar menjadi energi listrik, ternyata hampir 70 unit terbuang percuma. Rendahnya efisiensi pembangkit inilah yang mendorong banyaknya penelitian di bidang pembangkitan. Energi listrik yang tersisa 30 unit ini, selanjutnya harus ditransmisikan dan didistribusikan menuju konsumen. Dalam perjalanan menuju konsumen, sekitar 10 unit terbuang percuma di saluran. Artinya, konsumen hanya akan menerima 20 unit energi listrik. Oleh konsumen, energi listrik harus diubah lagi menjadi bentuk energi sesuai dengan kebutuhan, baik energi mekanik (motor penggerak), penerangan, maupun energi kimia. Dalam proses ini, sekitar setengah energi akan hilang percuma. Artinya, kita memerlukan 100 unit bahan bakar untuk menghasilkan energi akhir 10 unit (10 kali lipat). Nah dari pada kita membangun pembangkit dan saluran yang mahal, mengapa kita tidak melakukan penghematan. Jika konsumen menghemat 1 unit energi, dia akan menghemat 10 unit energi secara keseluruhan. Dengan penghematan ini, negara tidak perlu membangun pembangkit dan saluran transmisi baru. Pembangkit yang ada bisa dipakai untuk melayani konsumen lain yang masih antri untuk mendapatkan layanan listrik.
Sayangnya, negara kita kurang berpihak pada isu penghematan. Harga listrik yang murah karena subsidi menyebabkan konsumen merasa tidak perlu berhemat. Tidak ada insentif bagi konsumen yang melakukan penghematan dan tidak ada insentif untuk produsen yang menjual peralatan hemat energi. Seharusnya ada regulasi yang mendorong konsumen untuk melakukan penghematan dan yang memaksa hanya peralatan yang hemat energi yang bisa dijual di negara ini. Pemerintah pusat dan daerah serta bumn harus bisa menjadi contoh dalam gerakan hemat energi ini. Perlu diingat bahwa hemat energi tidak identik dengan bekerja dalam kegelapan dan tidak nyaman. Penghematan tidak boleh mengurangi produktivitas dan kenyamanan. Pada banyak kasus, penghematan bisa dilakukan tanpa biaya. Jika penghematan dilakukan, penulis yakin bahwa negara ini tidak perlu membangun pembangkit dan saluran transmisi baru sebanyak yang direncanakan saat ini. Pembangunan 2×10000 MW pembangkit batubara tidak akan menyelesaikan masalah tetapi malah menimbulkan masalah baru karena isu kemadirian, isu sarana pendukung, isu lingkungan, dan isu pembiayaan. Jika kita bisa menghemat, mengapa harus membangkitkan?
Mandiri Energi Listrik
Pada saat ini, pemerintah berusaha membangun banyak pembangkit listrik tenaga batu bara yang katanya jauh lebih murah dibanding pembangkit lain. Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak semua daerah mempunyai batu bara. Artinya, batu bara harus didatangkan dari daerah lain atau bahkan dari negara lain. Dari kondisi ini saja, kita telah membuat beberapa daerah tidak bisa mandiri energinya. Penggunaan batu bara juga membawa isu lingkungan tersendiri.
Di pulau Jawa sekalipun, pembangkitnya sebagian besar menggunakan batu bara. Batu bara harus didatangkan dari Sumatra atau Kalimantan. Artinya, kebutuhan energi di pulau Jawa sangat tergantung pada daerah lain. Selain itu, tidak ada perencanaan yang matang dari lokasi penempatan pembangkit. Saat ini, hampir semua pembangkit besar ada di Jawa Timur dan Barat yang jauh dari lokasi konsumen. Setiap hari sebagian besar kebutuhan listrik penduduk Jakarta harus didatangkan dari Paiton yang jaraknya hampir 1000 km. Karena lokasinya yang jauh, keandalan pasokan energi penduduk Jakarta sangat tergantung pada keandalan pembangkit besar seperti Paiton dan Suralaya dan juga pada keandalan saluran transmisi. Makanya tidak heran jika sering sekali Jakarta mengalami pemadaman karena kegagalan saluran transmisi. Seandainya kebutuhan energi listrik penduduk Jakarta dipasok dari pembangkit yang lokasinya di Jakarta, berapa saluran transmisi yang bisa dihemat? Setinggi apapun keandalan pembangkit tidak akan ada artinya jika salurannya tidak andal. Akan tetapi, saluran transmisi yang andal tidak mudah dan tidak murah mendapatkannya. Mengapa tidak membangun sistem kelistrikan yang tidak banyak bergantung pada saluran transmisi?
Mestinya, setiap daerah di rancang untuk mandiri energi. Setiap daerah harus mempunyai pembangkit yang mampu memenuhi daerahnya. Pasokan dari daerah lain melalui saluran transmisi hanya digunakan sebagai backup atau cadangan. Sumber energi yang digunakan harus bisa didapat di daerah tersebut, bukan mendatangkan dari daerah lain. Jika pulau Jawa terdapat banyak panas bumi, potensi ini harus dipilih sebelum memilih batu bara. Perlu dicatat bahwa Indonesia mempunyai potensi panas bumi yang sangat besar. Walaupun pada saat ini panas bumi lebih mahal dari batu bara, penulis yakin bahwa pembangkit ini akan lebih murah di masa yang akan datang. Dengan memanfaatkan panas bumi, kita tidak perlu membangun pelabuhan batu bara dan sistem transportasi yang mahal. Selain itu, penggunaan panas bumi akan mengurangi emisi CO2 yang terbukti membahayakan lingkungan. Panas bumi juga harus segera dimanfaatkan karena tidak bisa disimpan dan tidak bisa dieksport.
Di daerah yang tidak mempunyai panas bumi, sumber energi lain seperti halnya tenaga air, matahari, angin, dan biofuel harus dimanfaatkan. Walaupun sering lebih mahal, penggunaan sumber energi lokal menyebabkan berkurangnya aliran devisa ke daerah atau negara lain. Sumber energi dari daerah lain harus hanya bersifat suplemen atau cadangan.
Kwalitas dan Regional Pricing
Pada saat ini, energi listrik hanya dihargai berdasarkan kwantitas, hanya berdasarkan pada berapa jumlah energi kWh yang dikonsumsi. Kwalitas dari energi listrik yang didapat tidak dimasukkan dalam perhitungan tarif. Harga atau tarif listrik di semua daerah di Indonesia juga dihargai sama. Tidak peduli seberapa susah dan mahal PT. PLN membangkitkan energi listrik, semuanya dihargai sama. Tidak peduli apakah sering mati atau naik-turun tegangannya, semua dihargai sama. Padahal, biaya produksi energi listrik di setiap daerah berbeda. Biaya yang diperlukan untuk menjaga kwalitas energi listrik juga berbeda. Selain itu, banyak konsumen yang bersedia membayar lebih jika kwalitasnya membaik. Banyak konsumen terpaksa mengeluarkan banyak biaya untuk memperbaiki kwalitas energi listriknya. Kondisi ini juga menyebabkan ketidak-adilan dan kecemburuan. Kalimantan yang banyak mempunyai batubara, kelistrikannya jauh lebih buruk dan tidak berkwalitas di banding Jakarta. Padahal rakyat Kalimantan yang harus menanggung hancurnya lingkungan akibat penambangan batubara. Jika mau adil, mestinya listrik di Jakarta jauh lebih mahal dibanding Kalimantan karena kwalitasnya jauh lebih baik dan biaya produksinya lebih mahal. Jika regional pricing diterapkan, pemerintah bisa menggunakan listrik sebagai sarana untuk mengendalikan urbanisasi.
Kwalitas harus mulai diperhitungkan dalam penentuan tarif. Dengan menjaga kwalitas, kita bisa menjual energi listrik dengan harga nonsubsidi. Karena konsumen yang memerlukan kwalitas tinggi mulai banyak, penjualan energi listrik nonsubsidi bisa mengurangi beban subsidi listrik yang terus membengkak. Perlu dicatat bahwa menaikkan kwalitas tidak identik dengan menaikkan biaya produksi. Kwalitas pelayanan yang baik identik dengan kerja yang efisien, berkwalitas, dan disiplin. Kerja yang efisien dan disiplin identik dengan biaya yang murah, bukan sebaliknya. Perubahan paradigma ini memang tidak mudah tetapi harus dimulai.
Regional pricing mendorong timbulnya rasa keadilan. Setiap daerah memang mempunyai biaya produksi yang berbeda dan mempunyai kwalitas pelayanan yang beberbeda. Daerah yang memerlukan pelayanan dengan kwalitas tinggi harus membayar lebih dari daerah lain yang kwalitasnya kurang baik. Regional pricing juga bisa dipakai untuk mengatasi masalah urbanisasi dan mengendalikan pertumbuhan sesuai rencana. Daerah yang ingin dikembangkan bisa diberi insentif dengan listrik murah. Daerah yang ingin dikurangi kepadatannya bisa diberi listrik yang mahal.
Kompetisi
Pada saat ini, hanya PT. PLN yang boleh menjual energi listrik ke konsumen. Monopoli ini membuat tidak adanya insentif bagi PLN untuk melakukan efisiensi dan bekerja secara profesional. Rakyat tidak mempunyai pilihan lain. Apapun kwalitasnya, berapapun harganya, rakyat harus terima.
Jika kompetisi dibuka, konsumen bisa mempunyai pilihan. Jika ada perusahaan lain yang mampu memproduksi listrik dengan biaya dan kwalitas yang lebih baik, mengapa tidak? Konsumen pasti mau membayar lebih jika memang kwalitasnya lebih baik. Seperti halnya Pertamax, mengapa konsumen tetap membeli walaupun harganya lebih mahal dari premium? Kompetisi ini terutama diperlukan di tingkat retail. Jika ada perusahaan yang mampu menyediakan energi listrik di tingkat retail dengan kwalitas yang lebih baik, mengapa tidak boleh? Jika terbukti bisa mengurangi subsidi, mengapa tidak?
Isu kompetisi di tingkat retail ini sejalan dengan kemandirian energi dan regional pricing. Pembangkit-pembangkit kecil lokal akan mengurangi kebutuhan beban puncak sehingga mengurangi biaya saluran transmisi. Pemain lokal juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan listrik di tempat-tempat yang mana PT. PLN tidak mampu memenuhinya. Pemain lokal semacam ini hanya akan tumbuh jika sistem regional pricing dijalankan dan kwalitas dimasukkan dalam aspek tarif. Adanya pemain lokal juga meningkatkan kemandirian energi suatu daerah.
Isu kompetisi pasti banyak ditentang terutama oleh PT. PLN. Akan tetapi ini wajar karena sistem yang sudah established pasti menolak perubahan yang mengganggu status quo. Ini juga sudah terbukti pada awal deregulasi sistem telekomunikasi, penerbangan, dan penyiaran. Walaupun awalnya banyak yang mengkhawatirkan, deregulasi terbukti bisa menurunkan harga dan menaikkan efisiensi. Setiap perubahan pasti mendapatkan tantangan. Akan tetapi kita harus maju terus dan memperjuangkannya jika kita yakin itu benar dan bermanfaat untuk negara ini. Undang-undang kelistrikan sekarang yang melarang kompetisi harus segera diperbaiki.
No comments:
Post a Comment